Jumat, 17 April 2015

0 "Tidak suka, juga manusia..."

"...Dia  berkata, "Coba ceritakan!"  Maka aku menceritakan seluruhnya dan  dia tidak sedikitpun mengingkari  apa yang kuberitakan, kecuali satu pertanyaan, "Apakah ‘Aisyah  ra. memberita-hukan kepadamu siapa nama lelaki  yang memapah  Rasulullah saw. bersama  Abbas?" Kukatakan  'Tidak." Dia berkata, "Sesungguhnya ia adalah Ali."

Rangkaian kalimat diatas adalah penggalan paragraf dialog antara Ubaidullah bin Abdillah dengan ibnu abbas ketika meriwayatkan detik-detik meninggalnya Rasullah yang bersumber dari aisyah r.a. Apa yang dikisahkan dalam buku al biddayah wa nihayyah tersebut sebenarnya cukup panjang. Yaitu saat beberapa hari Rasulullah sakit hingga akhirnya beliau meninggal. Ketika dihari terakhir sakit beliau, sempat Rasulullah hendak keluar rumahnya untuk sholat berjamaah bersama umat muslim dengan dipapah abbas dan ali r.a. Tetapi bagian yang menjadi perhatian dari penuturan ummul mukminin aisyah r.a diatas adalah beliau tidak menyebutkan nama ali dari kisah itu, hingga ibnu abbas memperjelasnya. 

Ada apakah gerangan?

Tentu ibunda aisyah tidaklah lupa karena itu peristiwa penting dan juga beliau adalah sosok cerdas dengan ingatan kuat yang banyak meriwayatkan hadits.

Jadi sebenarnya beliau memang dengan sengaja tidak menyebutkan ali dalam riwayat tersebut.waallahu'alam.

Apa yang menjadi point pembahasan dari kisah itu dalam tulisan ini adalah kaitan dengan judul yang saya sematkan diatas "tidak suka, juga manusiawi...". Bagaimana penjelasannya?
Pertama, diawal yang perlu saya sampaikan adalah tidak ada maksud untuk menyudutkan/mencari-cari kekurangan para sahabat radiyallahu'anhum yang telah Allah sebutkan sebagai generasi terbaik. Adapun jika ada kekurangan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, justru menurut saya itu adalah bagian dari keagungan Allah dimana kita bisa mengambil hikmah disana.
Sehingga kita sebagai generasi yang tidak lebih baik keutamaannya disisi Allah, tetap optimis dalam meneladaninya karena masih dalam batas manusia biasa seperti kita. Nah perspektif itu yang hendak saya gunakan untuk mengurai judul "tidak suka juga manusiawi."

Adapun tidak suka adalah nilai rasa yang muncul dari interaksi antara manusia dengan manusia atau objek lainnya. Ia merupakan ungkapan dari emosi yang menjadi ekspresi dan akhirnya mewujud dalam sikap dan laku. Pada batas normal tidak suka menciptakan sebuah jarak. Namun ketika memuncak ia bisa menjadi hijab/pembatas dengan label benci. Tidak ada yang salah disana ketika menempatkannya pada kondisi dan posisi yang tepat. Seperti misalnya ketika kita tidak suka suatu benda atau benci terhadap sebuah kemungkaran. Tetapi proses penempatan itu sendiri seringkali tidaklah mudah bagi seseorang. Karena adanya subyektivitas.

Subyektivitas ini menciptakan bias yang membuat sesuatu yang menjadi kepentingan kita tampak rasional hingga muncul pembenaran atau kadang juga berbentuk keenggangan pengakuan terhadap salah/kekurangan. Sehingga yang di butuhkan adalah adil. Yaitu sifat yang menjadi jembatan untuk mampu menempatkan tidak suka pada porsi dan posisi yang tepat. Dan itulah yang dimiliki oleh sahabat rodiyallahuanhum. Sifat adil dalam memposisikan berbagai hal, oleh karenanya menjadi wajar jika "tidak suka, juga manusiawi".

Oh ya, bagaimana ibunda aisyah r.a memiliki rasa " tidak suka" terhadap ali r.a? Semua berawal dari peristiwa hadistul ifki. Silahkan baca kembali kisah tersebut secara lengkap. Wallahu'alam.

Rabu, 25 Februari 2015

1 "Over Pressure"

Sebuah balon yang ditiupkan udara ke dalamnya mampu menciptakan bentuk dengan mengisi volumenya. Tapi bagaimana ketika udara terus-menerus ditiupkan tanpa henti?
Jawaban mudahnya, tentu balon akan meletus. tapi mengapa? Penjelasan sederhana dalam science fisika balon mengalami tekanan berlebih dari udara di dalamnya, over pressure.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada balon, semua benda dapat mengalami tekanan ketika ada gaya yang bekerja padanya. Bahkan makhluk hidup juga bisa. Termasuk juga manusia. Terlebih pada makhluk hidup seperti manusia pressure tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga bersifat psikis. Pada aspek psikis agak berbeda dengan fisik. Jika pada fisik tekanan dapat dihasilkan dalam bentuk interaksi yang kasat mata, adapun dalam psikis tekanan seringkali terjadi dalam bentuk interaksi lebih abstrak.

Terkadang juga disebabkan faktor yang kompleks. Namun kerja dasarnya tetap saja sama. Yaitu ketika problem dalam perspsktif orang yang mengalaminya dengan kadar subyektif tertentu berinteraksi dalam proses yang kompleks dan berjalan dalam rentang waktu tertentu. 

Akhirnya semua tergantung pada kapasitas personal orang yang mengalaminya. Dan tiap orang memiliki "volume" yang berbeda. Ini seperti bejana yang diisi dengan air. Begitulah ruang jiwa manusia.



Memang tak ada ukuran pasti dan absolutnya. Kadang menjadi lapang, suatu saat menjadi sempit. Saat sempit inilah ketika problem mengakumulasi dengan dikuatkan pressure external maka tinggal menunggu waktu saja ia meledak, boom. Dan personal tersebut akan mengalami depresi. Bisa jadi stress ringan atau pada puncaknya depresi berat gangguan jiwa. Atau kadang juga berimplikasi pada aspek fisik dengan gejala gangguan pada organ tertentu. Atau yang biasa disebut efek psycosommatic. Lalu bagaimana?

Pada kondisi seperti itu, penting untuk mengembalikan ketahanan psikis. Dengan menguatkan kembali "bejana" ruang jiwa. Ini adalah proses kontemplatif yang melibatkan proses internal dialogis secara sadar. Sarana-sarana yang bersifat spiritual akan sangat membantu dalam menjalani proses tersebut. Seperti halnya ketika Rasulullah saw mengalami saat-saat berat penuh pressure yang menguras energi psikis dan fisik, maka beliau memerintahkan bilal mengumandangkan azan sholat untuk mengistirahatkan diri dari kelelahan luar biasa akibat pressure tersebut. Dengan proses itulah sholat menjadi sebuah kebutuhan yang akan mengembalikan kekokohan jiwa dalam proses interaksi dengan Rabb.

Selasa, 06 Januari 2015

0 Diwân al-Imâm al-Syâfi’i


Ikhlas Karena Allah:
“Siapa menuntut ilmu untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat; ia kan beruntung meraih kemuliaan dari Allah yang Maha Pemberi Petunjuk;  Maka dia pun akan meraih kebaikan yang berasal dari hamba-Nya”

Meninggalkan Perbuatan Dosa:
“Aku  mengadu kepada Wakî' tentang kelemahan hafalanku;  ia pun memberikan nasehat Agar aku meninggalkan maksiat; Ia memberitahuku pula bahwa ilmu itu cahaya; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang maksiat.”

Menuntut Ilmu Sejak Dini:
“Siapa yang kehilangan waktu belajar pada waktu mudanya;  takbirkan dia empat kali; anggap saja ia sudah mati. Seorang pemuda akan berarti apabila ia berilmu dan bertaqwa; Jika dua hal itu tiada, pemuda pun tak bermakna lagi.”

Mencatat Setiap Ilmu yang dipelajari:
“Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah pengikatnya;  ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat; Sebab diantara bentuk kebodohan, engkau memburu seekor rusa;  lalu kau biarkan rusa itu bebas begitu saja.” 

Sabar Dibimbing Guru: “Sabarlah dengan sikap guru yang terasa pahit di hatimu;  sebab kegagalan itu disebabkan meninggalkan guru. Barangsiapa yang tak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu sesaat; sepanjang hidupnya ia akan menjadi orang hina karena kebodohannya.”

Manajemen Waktu yang Baik:
“Takkan ada seorang pun yang akan mencapai seluruh ilmu;  takkan ada, meskipun ia terus berusaha seribu tahun lamanya. Sesungguhnya ilmu itu bagaikan lautan yang sangat dalam, sebab itu ambilah semua yang terbaik dari ilmu yang ada.”

Menikmati Ilmu yang Dipelajari:
“Malam-malamku untuk mempelajari ilmu terasa lebih indah daripada bersentuhan dengan wanita cantik dan aroma parfum. Mata penaku yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertasku lebih nikmat daripada bercinta dan bercumbu. Menepuk debu-debu yang menempel di lembaran-lembara kertasku lebih indah suaranya daripada tepukan rebana gadis jelita.”

Bergaul dengan Orang Berilmu dan Saleh:
“Bergaullah dengan orang-orang berilmu dan bertemanlah dengan orang-orang saleh diantara mereka; sebab berteman dengan mereka sangat bermanfaat dan bergaul dengan mereka akan membawa keuntungan. Janganlah kau merendahkan mereka dengan pandanganmu; sebab mereka seperti bintang yang memberi petunjuk, tak ada bintang yang seperti mereka.

Mengembara Mencari Ilmu:
“Mengembaralah! Engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah dalam bekerja keras. Saya berpendapat bahwa air jika tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Jika ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor. Singa,  jika tidak keluar dari sarangnya, ia tak akan dapat makan. Anak panah jika tak meluncur dari busurnya ia takkan mengena.”

Menghargai Pendapat Orang Lain:
“Jika anda benar-benar memiliki ilmu dan pemahaman  tentang ikhtilaf ulama dulu dan sekarang. Maka hadapilah lawan diskusimu dengan tenang  dan bijak; jangan sombong dan keras kepala.

Tak Pernah Puas dengan Ilmunya:
“Setiap aku mendapat pelajaran dari masa, setiap itu pula aku tahu segala kekurangan akalku. Setiap ilmuku bertambah Setiap itu pula bertambah pengetahuanku akan kebodohanku.”


*dikutip dari Kitab Diwân al-Imâm al-Syâfi’i karya Muhammad Abdurrahim (Beirut:Dar al-Fikr, 1995).
 

"serunai hijau," Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates