Ditulis Oleh Asep Sobari
Di masa Jahiliyah, pemimpin-pemimpin besar Mekah terbatas pada klan-klan tertentu, seperti Bani Umayyah, Bani Makhzum dan Bani Abd ad-Dar. Peran kepemimpinan klan-klan tersebut begitu menonjol dalam perang al-Fijar. Kondisi ini berlaku untuk sekian lama dan merata di semua kelompok masyarakat Arab. Di Yatsrib, kepemimpinan sulit keluar dari garis keturunan Bani Abdil Asyhal dan Bani Sa`idah. Sementara kelompok masyarakat lainnya, seakan-akan begitu mandul untuk melahirkan pemimpin-pemimpin besar.
Namun sejak Islam muncul, peta dan pola kaderisasi pemimpin sedikit demi sedikit berubah. Memang, selama 13 tahun pertama keberdaannya di Mekah, dakwah Islam masih pada tahap pembentukan ‘manusia baru’ dan hasilnya baru terlihat di fase Madinah. Misalnya dalam bidang militer, selama 10 tahun di Madinah, masyarakat muslim menjalani 84 perang dan ekspedisi, dan hanya sepertiganya atau 28 perang saja yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw, sedangkan 56 ekspedisi militer lainnya dipimpin secara bergantian oleh 38 orang sahabat.
Data yang dihimpun oleh Abul Hasan Ali al-Nadawi dalam al-Sirah ini menunjukkan, hanya dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun dakwah Islam telah berhasil mengeksplorasi potensi-potensi unggul kepemimpinan militer yang dimiliki oleh para sahabat dan membangunnya sebagai sebuah kekuatan baru.
Uniknya, dari semua yang pernah memimpin ekspedisi militer itu, Zaid bin Haritsah al-Kalbi tercatat sebagai sahabat yang paling banyak ditunjuk sebagai pemimpin. Ada delapan ekspedisi militer dalam rentang enam tahun (tahun 3-8 hijriyah) yang dipimpinnya, termasuk perang Mu’tah yang sangat fenomenal kerena mempertemukan pasukan muslim melawan pasukan Romawi untuk pertama kalinya. Kemunculan Zaid adalah fenomena yang mustahil terjadi dalam pola kepemimpinan Jahiliyah. Bagaimana tidak, Zaid bukan dari Quraisy ataupun suku Arab terpandang lainnya, terlebih lagi dia adalah bekas budak yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Rasulullah saw. Singkatnya, sebuah generasi pemimpin telah lahir.
Fenomena ini terus berlanjut pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Gambarannya sangat jelas. Dalam kurun waktu kurang dari 12 tahun, Imperium Persia runtuh dan Kekaisaran Romawi lumpuh. Wilayah Islam kala itu terbentang dari perbatasan Afganistan di timur hingga Libya di barat yang berarti mencakup sekitar 15 negara saat ini. Abu Bakar dan Umar tidak hanya membutuhkan puluhan panglima perang yang andal, tapi puluhan bahkan ratusan gubernur, bendaharawan, hakim dan berbagai jabatan strategis lainnya di semua wilayah baru tersebut.
Sejarah pun mencatat, Umar ra. berhasil dengan gemilang. Pemerataan pendidikan Islam yang didukung oleh para ulama generasi sahabat menghasilkan pemerintahan yang stabil, nyaris tidak ada gejolak politik yang berarti, keadilan dijunjung tinggi, keamanan terjamin dan kesejahteraan rakyat terangkat dan kemakmuran meningkat.
Kelengkapan dan kecermatan administrasi negara menjadi catatan tersendiri di masa Umar. Berdasarkan data-data dari pelbagai sumber, Prof. Dr Akram al-`Umari mengungkapkan dalam `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, bahwa di masa Umar, tanah milik negara terinventarisir dengan baik karena dia membuat kebijakan ketat agar semua tanah negara tetap produktif. Umar menggunakan model pengukuran tanah al-Jaribah dan hasilnya diatur dengan aturan Kharaj. Sensus penduduk pun terlaksana dengan sangat cermat, karena Umar menggunakan sistem ad-Diwan untuk menjamin tunjangan negara kepada seluruh rakyatnya tersalurkan dengan baik. Bahkan, setiap bayi yang baru lahir pun mendapat tunjangan dari negara sebanyak 100 dirham (10 juta rupiah).
Kaderisasi pemimpin di masa ini telah merambah generasi tabi`in. Meskipun tidak lepas dari gejolak politik di kalangan elit, struktur sosial generasi tabi`in tetap kokoh, terutama di Madinah. Masyarakat Madinah memiliki perspektif politik yang unik dibanding Iraq dan Syam yang kerap bergejolak. Hasilnya sangat luar biasa, Salim bin Abdullah bin Umar, Shalih bin Kaisan, Ubaidullah bin `Utbah, Sa`id bin al-Musayyib dan sederet ulama Madinah lainnya berhasil melahirkan Umar bin Abdul Aziz yang kelak menjadi permata Dinasti Bani Umayyah.
Pola sejarah atau sunnatullah ini terus berulang dari generasi ke generasi. Abdurrahman al-Awwal di Andalus, Yusuf bin Tasyfin di Maroko, Nuruddin Zanki dan Shalahuddin di Syam, dan Muhammad al-Fatih di Turki. Mereka adalah pemimpin-pemimpin lintas generasi yang lahir dari rahim masyarakat yang siap, atau seperti yang dinyatakan Dr. Majid al-Kilani dalam Hakadza Zhahara Jil Shalahiddin, “Masyarakat yang telah melakukan perubahan kolektif”.[]
Sumber: Kolom Ibroh, Majalah Islam Sabili No. 23 TH.XVI Juni 2009
Selasa, 09 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar