Ditulis Oleh Adian Husaini
Pada 16 Desember 2008 lalu, dalam sebuah diskusi di Masjid Salman ITB-Bandung, Pendidikan Islam, Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud meng ingatkan tentang kembali sebuah gagasan lama yang sempat semarak, tapi kemudian terabaikan: “Islamisasi ilmu.” Pada Desember itu, Prof. Wan Mohd Nor, alumnus Chicago University yang kemudian berguru kepada begawan Islmisasi ilmu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, melakukan serangkaian diskusi di sejumlah kampus di Jawa (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Uni versitas Pajajaran Bandung, dan Uni ver sitas Indonesia). Tema sentral diskusi itu adalah perlunya gerakan “Islamisasi il mu” dihidupkan lagi di dunia Islam, khu susnya di Indonesia, sebagai negara Mus lim terbesar.
Tiga hari sebelumnya, saat membuka seminar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menekankan pentingnya integrasi antara keilmuan dan akhlak. Karena itu, menurutnya, diperlukan sebuah pengkajian yang serius terhadap ilmu pengetahuan serta mengintegrasikannya dengan nilainilai luhur Islam atau yang dikenal sebagai “Islamisasi”.
Pada kesempatan itu, Prof. Wan Mohd Nor mempresentasikan makalah bertajuk “Dewesternization and Islamization: Their Epistemic Framework and Final Purpose”. Tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin saat ini, kata Prof. Wan begitu dia biasa disapa — adalah problem ilmu. Teori ilmu yang telah berkembang di Barat termanifestasikan dalam berbagai aliran seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnostisisme, positivisme, objektifisme, subjektifisme dan relativisme.
Aliran-aliran semacam ini setidaknya berimplikasi sangat serius dalam sejumlah hal. Pertama, menegasikan dan memutuskan relasi manusia dengan alam metafisika, mengosongkan manusia dan kehidupannya dari unsur-unsur dan nilai transenden serta mempertuhankan manusia. Kedua, melahirkan dualisme. Manusia dibuat terjebak pada dua hal yang dikotomis dan tak dapat dipersatukan, seperti dikotomi dunia-akhirat, agama-sains, tekstual-kontekstual, akalwahyu, objektif-subjektif, induktifdeduktif dan seterusnya. Ini mengakibatkan manusia sebagai makhluk yang terbelah jiwanya (split personality).
Sebagai solusi alternatif atas bencana implikasi peradaban materialis-sekuler yang anti Tuhan ini diperlukan de westernisasi dan Islamisasi Ilmu-ilmu kontemporer. kontemporer. Karena telah begitu dominannya paradigma keilmuan Barat saat ini, maka salah satu aspek penting dalam Islamisasi Ilmu adalah melakukan “Dewesternisasi”. Proses ini bukanlah dipahami sebagai gerakan anti Barat dan peradabannya. Dewesternisasi ialah membersihkan berbagai pernik peradaban masa kini dari unsur-unsur worldview (pandangan hidup) Barat yang bertentangan dengan worldview Islam yang ‘tauhidi’ dan melahirkan implikasi yang sangat serius dan destruktif atas kemanusiaan sejagad.
Dari Masjid Salman
Bagi para akademisi Muslim di ITB, ide Islamisasi Ilmu bukanlah hal yang baru. Tahun 1981, penerbit Pustaka-Salman ITB, telah menerbitkan buku Islam dan Sekularisme, karya Prof. Naquib al-Attas. Tahun 1984, juga diterbitkan buku Islamisasi Pengetahuan karya Prof. Ismail Ra ji al-Faruqi. Tahun 1983, juga diterbitkan buku penting karya Muhammad Asad, yang berjudul Islam Disimpang Jalan (terjemah dari Islam at The Crossroads, yang terbit pertama tahun 1934).
Muhammad Asad mengatakan seorang Yahudi yang sebelum masuk Islam bernama Leo pold Weiss – problem terberat yang diha dapi umat manusia adalah dominasi per adaban Barat yang materialistik dan anti-agama. Sebab, katanya, saripati per adaban Barat modern adalah ‘irreligious’. Semangat Barat modern untuk membuang semua unsur agama dalam berbagai aspek kehidupan – termasuk bidang keilmuan itulah – itulah yang kemudian dijadikan sebagai standar pengembangan keilmuan dan pendidikan di dunia internasional. Agama dijauhkan dari ilmu pengetahuan. Sarjana biologi, kedokteran, fisika, matematika meskipun Muslim dijauhkan dari ilmuilmu keislaman, seperti al-Quran, hadits, ushul fiqih, bahasa Arab, dan sebagainya.
Bahkan, bidang ilmu-ilmu keislaman pun tak luput dari westernisasi. Meskipun men dirikan berbagai pusat studi agama, tetapi agama tetap diletakkan sebagai “produk budaya”. Agama, juga Tuhan, ha rus tunduk dalam kerangka pikir manusia. Manusialah yang jadi Tuhan dan ber hak mengatur Tuhan. Bukan Tuhan lagi yang mengatur manusia. Dalam istilah Prof. al-Attas: “Man is deified and Deity humanised.” (Lihat, Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, vol 2, hal. 231-240).
Di Masjid Salman, Prof. Wan juga sempat mengklarifikasi gagasan Islamisasi Ilmu dan kesalahpahaman yang selama ini terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, sehingga gagasan yang sempat berkembang pada tahun 1980-an itu kemudian tenggelam. Ide Islamisasi, menurutnya, terburu-buru menjadi po -pu ler tanpa disertai penjelasan dan konsep yang mendasar. Padahal, konsep itu sebenarnya telah dipikirkan dan dijabarkan bahkan diaplikasikan dengan matang oleh Prof. Naquib al-Attas.
Pada bab berjudul “Dewesternisasi Pengetahuan” dari buku terbitan Pustaka-Salman ITB tahun 1981, dikutip katakata Prof. Naquib al-Attas tentang karakter keilmuan Barat:
“Saya memberanikan diri untuk menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam telah timbul dalam zaman kita adalah tantangan pengeta huan, memang, tidak sebagai tantangan terhadap kebodohan, tetapi pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Pengetahuan Barat itu sifatnya telah menjadi penuh permasalahan karena ia telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ia juga telah menyebabkan kekacauan dalam kehidupan manusia, dan bukannya perdamaian dan keadilan. Pengetahuan Barat tersebut berdalih betul, namun hanya memberi hasil kebingungan dan skeptisisme. Barat telah mengangkat peraguan dan pendugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistemologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran.” (hal. 195-196).
Ya. Ilmu adalah sumber dari segala problem kemanusiaan. Jika ilmu yang dipelajari oleh umat manusia adalah ilmu yang rusak, maka rusaklah pikirannya. Lalu, menyusul, rusak pula perilakunya. Ilmu yang salah akan menyebabkan tindakan yang salah pula. Seorang sekular akan berpandangan bahwa menggelar konser amal sambil bertelanjang dan ‘teler’ adalah sebuah amal kebajikan dan kemanusiaan. Bagi seorang humanis sekular, kemanusiaan adalah di atas nilai agama. Seorang pezina tetap bisa dihargai sebagai manusia terhormat, jika dia suka menolong orang lain.
Tujuan ilmu
Dalam bukunya, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization, Tim Wallace-Murphy mengingatkan, agar orang-orang Barat tidak melupakan hutang budi mereka terhadap Islam. Buku ini sarat dengan datadata sejarah transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat di zaman Pertengahan dan abad modern. Tetapi, karena semangat pemberontakan terhadap agama yang sangat tinggi di Eropa, ilmu pengetahuan itu kemudian dipisahkan dari unsur-unsur ketuhanan. Unsur rasio menjadi satu-satunya penentu kebenaran. Unsur wahyu dan ketuhanan dibuang jauh-jauh dari dunia ilmiah.
Apa yang terjadi ketika ilmu menjadi tersekularkan? Ilmu kemudian kehilangan tujuan hakiki dan hanya berfungsi memenuhi hawa nafsu dan kebutuhan jangka pendek. Meskipun ilmu pengetahuan dan tek nologi yang mereka ciptakan mampu melahirkan peradaban yang “maju”, namun “kemajuan” tidak membawa pada ke te nangan, kedamaian dan keadilan. Padahal, dalam Islam, menurut Prof. Wan Mohd Nor, tujuan tertinggi dari ilmu adalah mencetak manusia-manusia yang beradab. Manusia yang beradab pada Allah, pada Rasul, pada ulama pewaris nabi, dan sebagainya.
Dalam pandangan Islam, ilmu harus mengantarkan manusia tidak menjadi syirik, sebab syirik adalah “kezaliman besar”, tindakan yang tidak beradab kepada Allah (QS 31:13). Ilmu yang benar, ha rus mengantarkan manusia kepada keyakinan dan kebahagiaan yang hakiki. Se bab, hanya dengan keyakinan, manusia akan mampu meraih kebahagiaan yang ha kiki.
Untuk itulah, gagasan Islamisasi Ilmu memang mendesak untuk dilakukan. Sebab, ilmu yang rusak, adalah sumber dari segala kerusakan. Dari ilmu yang rusak, lahir pula cendekiawan yang rusak; bahkan ulama yang rusak. Padahal, kata Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, rakyat rusak gara-gara penguasanya rusak; dan penguasa rusak, gara-gara ulama yang rusak; dan ulama rusak karena terjangkit penyakit “hubbuddunya” (gila dunia). Wallahu A’lam.
sumber : http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=111&Itemid=26
Sabtu, 02 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar