Senin, 02 Agustus 2010
0 Perasaan dalam Rasionalitas
Persaingan eksisensi telah memisahkan antara rasio yang diwakili oleh akal dan keimanan yang bersemayam dalam hati. Berabad silam barat telah dihantui oleh pertikaian itu hingga memunculkan garis pemisah yang begitu dalam dan jauh. Ada dikotomis yang sangat ekstrim dalam inkuisisi, bahwa iman tidak dapat dirasionalkan dan rasio akan terkungkung oleh iman. Oleh karenanya renaisance menjadi pintu bagi munculnya liberalisme yang memisahkan secara mutlak antara iman dan rasional. Hati tempat bersemayam iman yang juga sumber perasaan dan rasio sebagai akar ilmu pengetahuan modern yang hendak digagas. Obyekivitas itulah yang ingin dimunculkan.
Namun kini obyektivitas itu telah kering setelah beratus tahun menumbuhkan pohon-pohon ilmu pengetahuan yang menjulang tinggi. Tanahnya telah kering, karena tidak ada lagi mata air kejernihan yang memberikan nilai di dalamnya. Bisa saja mereka memberikan pupuk sintesis dalam relativisme humanisme manusia. Tapi itu bukanlah nilai yang memiliki konsistensi. Karena atas nama humanisme setiap orang dapat saja mengklaim terhadap kebenaran atau penolakan nilai. Tidak ada yang mutlak, hanya kebenaran konsensus yang tak konsekuen. Maka tetap saja kering & kacau.
Perasaan dalam pencermina ide, telah menjadi sintesis yang begitu indah. Orisinilitas yang dihiasi keindahan nilai. Keduanya tidak menjadi paradoks, karena telah diberikan batas yang begitu jelas yang mnjadi sumber keduanya. Perasaan ekspresi kebenaran, keindahan dan ketentraman telah dikuatkan oleh rasionalitas yang obyektif. Keduanya berjalan beriringan begitu indah. Dan karenanya setiap rasionalitas memiliki perasaan sebagai ekspresi kebenaran . Tidak hanya obyektif tapi juga benar. Disitulah titik kesempurnaannya...
Oleh karenanya kita mengenal bahwa Al-khawarizmi adalah ulama sekaligus ilmuwan, begitupun dengan AbdusSalam...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar