Tak ada definisi pasti yang menggambarkan pada kita, apa itu rasa. Seseorang mungkin saja berujar mangga itu manis, yang lain mengatakan tidak cukup manis. Itulah rasa dengan satuan ukuran manis, asam, asin, pahit dan lain sebagainya. Tapi tak ada ukuran yang menunjuk angka pasti, seberapa maniskah? atau seberapa pahitkah?
Konon ada beberapa ilmuan yang mencoba membuat alat yang mengukur secara pasti tentang rasa ini. Mereka membuat semacam alat pengecap seperti indera manusia dengan menggunakan sensor tertentu yang dapat mengukur kandungan bahan dalam suatu makanan yang menciptakan rasa manis, asam, atau asin. Sehingga hasil perhitungan akumulasi bahan yang diukur dengan menggunakan persamaan tertentu tersebut yang nantinya menjadi ukuran rasa.
Namun pendefinisian tersebut hanya berbicara satu dimensi. Bagaimana dengan rasa cinta, benci, rindu yang berbeda dari rasa manis, asin atau asam? Mungkin dibelahan dunia lain ada para cendekia yang juga berusaha mendefinisikannya dengan ukuran pasti tentang cinta, benci atau rindu dengan menciptakan suatu alat tertentu.
Tapi apalah gunanya semua itu? Perlukah rasa itu kita definisikan secara presisif?
Atau sebaiknya memang demikian adanya. Biar kan ia menjadi atribut yang mengekspresikan perubahan emosi dan sensasi. Toh, dalam diri kita sebagai manusia menangkap abstraksi kata tersebut tidaklah begitu sulit walaupun juga tidak presisif, seperti yang diharapkan oleh orang yang meng-ujarkan-nya. Selama hati kita sebagai manusia masih melekat sebagai satu ukuran kemanusiaan kita, kita akan tetap memahami kata tersebut. Agaknya yang lebih penting bagi kita memang ketersambungan frekuensi "rasa" tersebut satu dengan yang lain. Sehingga ia menjadi kata aktif yang bekerja dalam ruang hati yang menjadi pendorong empati. Kita tak berharap ia hanya rangkaian panjang kata yang membentuk makna yang memuaskan intelektualitas. Lebih dari, itu rasa adalah kata yang menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang menjaga sisi kemanusiaannya.cukup.
0 komentar:
Posting Komentar