Dalam diskusi ringan disela aktivitas, tiba-tiba saja ‘sahabat muda ini’ bertanya, “mas apa yang membuat anda masih mau &betah beraktivitas bersama kami?” Sementara senior seangkatan dengan anda telah banyak yang melanglangbuana & hanya sedikit yang masih tetap bertahan. Bisa dihitung cukup dengan satu jari tangan.”
Sejenak berfikir & mencoba mencari-cari jawaban yang selama ini memang tidak begitu sadar dengan pertanyaan semacam itu. Lalu tiba-tiba terucap jawaban,
“saya meyakini disini banyak potensi pahala lipat-berlipat dibanding ditempat manapun. Entah itu disadari oleh yang lain atau tidak?”
“Dan disini pula saya dapati kekuatan ukhuwah & perhatian yang besar, yang belum pernah saya dapati ditempat yang lain yang pernah saya singgahi.”
“Saya menikmatinya & tidak terasa memang telah berjalan cukup lama. Alhamdulillah semoga ada manfaatnya…”
Tidak ada definisi yang cukup jelas untuk mampu menggambarkan makna & kekuatan ukhuwah. Ia lebih mungkin untuk dirasakan & dinikmati dibanding untuk dicari penjelasannya yang lengkap. Karena ukurannya adalah rasa dihati, penerimaan yang memenuhi perasaan. Maka tak cukup dengan bahasa lisan & ungkapan kalimat untuk menggambarkannya. Kadang kita juga tak mampu menjangkaunya dengan rasionalitas pikiran. Untuk alasan yang tidak sebanding, seseorang mampu berkorban lebih pada saudaranya dalam ikatan ukhuwah. Ingat kembali persaudaraan muhajirin & anshar atau kisah 3 sahabat syahid yang saling mendahulukan untuk mendapatkan seteguk air. Itu menjadi tidak rasional bagi akal kita. Namun dalam akal ketiga kita yang menjadi puncak kecerdasan, layaknya yang diungkapkan Abu Hamid, bahwa iman yang transeden hanya akan mampu dijangkau oleh akal jiwa. Dimana iman adalah landasan dari ukhuwah. Oleh karenanya menjadi rasional dalam balutan keyakinan, bukan argumentasi yang memuaskan keingintahuan. Hanya tampak pada orang-orang yang jujur dengan keimanannya. Wujud ke- tsiqohan pada janji yang telah difitrohkan pada manusia. Bahwa iman, ukhuwah & kasih-sayang adalah tiga simpul yang saling terikat. Menjadikan warna kehidupan menjadi beragam, penuh dengan nuansa & cita rasa. Memang kadang ada sedih, tapi selalu bisa diwarnai dengan senyuman persaudaraan. Memang ada rasa marah, namun selalu bisa digores dengan tinta perhatian. Itulah ukhuwah yang kita rasakan, kadang tak perlu didefinisikan cukup dirasakan & dijaga pertumbuhannya…
Nah, pertumbuhan itu yang kadang jadi persoalan. Ketika kita telah menjadi aku, maka hijau daun itu telah tampak mulai layu. Aku seperti perawatan yang telah mulai pudar. Jika tidak lagi dirawat, wajar jika menjadi layu. Kesibukan, egoism, menang sendiri, tiak mau tahu, itu adalah hama yang mesti dibasmi. Hama-hama ini akan mulai menggerogoti batang dan membuatnya keropos. Ulat-ulat bulu juga mulai bermunculan saat musim kemarau, mereka memakan dedaunan yang hijau. Lubang- demi lubang. Begitu rakus tak bersisa. Ini juga semakin parah dengan hilangnya perawatan. Lebih lagi akar-akar yang menjadi pengokoh dan pintu asupan mineral, kadang juga tak lagi berkembang dan bercabang menjangkau dalamnya bumi & luasnya tanah. Lengkap sudah factor yang membuat pohon ukhuwah ini akan mati.
Sejenak berfikir & mencoba mencari-cari jawaban yang selama ini memang tidak begitu sadar dengan pertanyaan semacam itu. Lalu tiba-tiba terucap jawaban,
“saya meyakini disini banyak potensi pahala lipat-berlipat dibanding ditempat manapun. Entah itu disadari oleh yang lain atau tidak?”
“Dan disini pula saya dapati kekuatan ukhuwah & perhatian yang besar, yang belum pernah saya dapati ditempat yang lain yang pernah saya singgahi.”
“Saya menikmatinya & tidak terasa memang telah berjalan cukup lama. Alhamdulillah semoga ada manfaatnya…”
Tidak ada definisi yang cukup jelas untuk mampu menggambarkan makna & kekuatan ukhuwah. Ia lebih mungkin untuk dirasakan & dinikmati dibanding untuk dicari penjelasannya yang lengkap. Karena ukurannya adalah rasa dihati, penerimaan yang memenuhi perasaan. Maka tak cukup dengan bahasa lisan & ungkapan kalimat untuk menggambarkannya. Kadang kita juga tak mampu menjangkaunya dengan rasionalitas pikiran. Untuk alasan yang tidak sebanding, seseorang mampu berkorban lebih pada saudaranya dalam ikatan ukhuwah. Ingat kembali persaudaraan muhajirin & anshar atau kisah 3 sahabat syahid yang saling mendahulukan untuk mendapatkan seteguk air. Itu menjadi tidak rasional bagi akal kita. Namun dalam akal ketiga kita yang menjadi puncak kecerdasan, layaknya yang diungkapkan Abu Hamid, bahwa iman yang transeden hanya akan mampu dijangkau oleh akal jiwa. Dimana iman adalah landasan dari ukhuwah. Oleh karenanya menjadi rasional dalam balutan keyakinan, bukan argumentasi yang memuaskan keingintahuan. Hanya tampak pada orang-orang yang jujur dengan keimanannya. Wujud ke- tsiqohan pada janji yang telah difitrohkan pada manusia. Bahwa iman, ukhuwah & kasih-sayang adalah tiga simpul yang saling terikat. Menjadikan warna kehidupan menjadi beragam, penuh dengan nuansa & cita rasa. Memang kadang ada sedih, tapi selalu bisa diwarnai dengan senyuman persaudaraan. Memang ada rasa marah, namun selalu bisa digores dengan tinta perhatian. Itulah ukhuwah yang kita rasakan, kadang tak perlu didefinisikan cukup dirasakan & dijaga pertumbuhannya…
Nah, pertumbuhan itu yang kadang jadi persoalan. Ketika kita telah menjadi aku, maka hijau daun itu telah tampak mulai layu. Aku seperti perawatan yang telah mulai pudar. Jika tidak lagi dirawat, wajar jika menjadi layu. Kesibukan, egoism, menang sendiri, tiak mau tahu, itu adalah hama yang mesti dibasmi. Hama-hama ini akan mulai menggerogoti batang dan membuatnya keropos. Ulat-ulat bulu juga mulai bermunculan saat musim kemarau, mereka memakan dedaunan yang hijau. Lubang- demi lubang. Begitu rakus tak bersisa. Ini juga semakin parah dengan hilangnya perawatan. Lebih lagi akar-akar yang menjadi pengokoh dan pintu asupan mineral, kadang juga tak lagi berkembang dan bercabang menjangkau dalamnya bumi & luasnya tanah. Lengkap sudah factor yang membuat pohon ukhuwah ini akan mati.
Sebelum itu terjadi segera dibutuhkan siraman air kesejukan, pupuk pembasmi hama dan pagar penjaga. Itulah silaturahim, itulah nasihat dalam kebaikan, itulah do’a kita yang kita sematkan dalam setiap waktu sholat. Yang menjadi penyambung ikatan kita dengan Allah, yang akan menguatkan ikatan kita pada saudara seiman kita… disini ukhuwah menjadi bermakna.
0 komentar:
Posting Komentar